Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa
ba’du,
Salah satu diantara cara Allah untuk meyakinkan umat
manusia tentang kebenaran para nabi yang Dia utus, Allah berikan bekal kepada
mereka berupa mukjizat.
Sebelum Allah memerintahkan Musa untuk menghadapi
Fir’aun, Allah bekali beliau dengan mukjizat. Ketika Allah berbicara dengan
Musa di bukit Tursina, Allah tunjukkan kepada Musa berbagai mukjizat yang dia
miliki, mulai dari tongkat yang berubah menjadi ular, tangan yang bisa
mengeluarkan cahaya putih, dst.
Kemudian Allah berfirman,
ِูู ุชِุณْุนِ ุขََูุงุชٍ ุฅَِูู
ِูุฑْุนََْูู ََْูููู
ِِู ุฅَُِّููู
ْ َูุงُููุง َْููู
ًุง
َูุงุณَِِููู
“(dua mukjizat ini) termasuk sembilan mukjizat yang akan
ditunjukkan kepada Fir’aun dan kaumnya. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang
fasik.” (QS. an-Naml: 12).
Demikian pula Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Allah memberi bekal kepada beliau berbagai macam mukjizat untuk
membuktikan kebenaran beliau. Diantaranya, al-Quran yang bisa meluluhkan hati
orang musyrik yang mendengarnya, peristiwa Isra’ Mi’raj, terbelahnya bulan,
keluarnya air dari jari-jari beliau, terdengarnya suara tasbih dari makanan,
batu memberi salam kepada beliau, terdengarnya suara rintihan batang kurma yang
merindukan beliau, termasuk kebenaran berita masa depan yang beliau sampaikan.
Para ulama membukukannya dalam kitab Dalail an-Nubuwah.
Salah satu diantara mukjizat beliau adalah keindahan
akhlak beliau. Ketinggian budi pekerti dan akhlak beliau, yang hampir tidak
mungkin bisa dilakukan manusia biasa, selain orang yang derajat taqwanya sangat
tinggi.
Seperti diantaranya, tidak mencela dan mengomentari
makanan.
Sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menceritakan,
ู
َุง ุนَุงุจَ ุงَّููุจُِّู ุตََّูู
ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ ุทَุนَุงู
ًุง
َูุทٌّ ุฅِِู ุงุดْุชََูุงُู ุฃَََُููู
َูุฅِูุงَّ ุชَุฑََُูู
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela
makanan sama sekali. Jika beliau selera maka beliau memakannya, dan jika tidak
selera maka beliau tinggalkan.” (HR. Ahmad 9755, Bukhari 3563 dan Muslim 5504).
Jangan anda berfikir, mencela makanan hanya terkait
penilaian enak, tidak enak, menjijikkan atau komentar miring lainnya. Ternyata
lebih dari itu. Sebatas menyebut asin, kurang asin, kemanisan, kecut, … yang
itu umum dilakukan di masyarakat kita, ternyata masuk dalam cakuan hadis di
atas.
Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan hadis ini,
َูุฐَุง
ู
ِْู ุขุฏَุงุจِ ุงูุทَّุนَุงู
ِ ุงْูู
ُุชَุฃَِّูุฏَุฉِ
َูุนَْูุจُ ุงูุทَุนَุงู
ِ ََِِْููููู : ู
َุงِูุญٌ،
َُِْูููู ุงْูู
ِْูุญِ، ุญَุงู
ِุถٌ، ุฑٌَِْููู، ุบَِْููุธٌ،
ุบَْูุฑُ َูุงุถِุฌٍ، ََููุญُْู ุฐََِูู
“Hal ini (tidak mencela makanan) termasuk adab makan yang
ditekankan. Dan mencela makanan yaitu seperti ia berkata, “Ini keasinan”,
“Kurang asin”, “Kecut”, “Terlalu lembut”, “Masih kasar”, “Belum masak”, dan
yang semisalnya.” (al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim, 14/26).
Yang lebih mengherankan, sampaipun dalam kondisi yang
secara normal umumnya manusia mengomentari makanan, namun Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tetap istiqamah tidak mengomentarinya.
Kita bisa lihat untuk kejadian beliau disuguhi daging
dhab.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mendapat informasi dari
Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu,
ุฃََُّูู
ุฏَุฎََู ู
َุนَ ุฑَุณُِูู ุงَِّููู
ุตََّูู ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ
ุนََูู ู
َْูู
َُููุฉَ ََِููู ุฎَุงَูุชُُู َูุฎَุงَูุฉُ
ุงุจِْู ุนَุจَّุงุณٍ ََููุฌَุฏَ ุนِْูุฏََูุง
ุถَุจًّุง ู
َุญُْููุฐًุง ََููุฏَّู
َุชِ ุงูุถَّุจَّ ِูุฑَุณُِูู ุงَِّููู
ุตََّูู ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ
َูุฑََูุนَ ุฑَุณُُูู ุงَِّููู ุตََّูู
ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ َูุฏَُู
ุนَِู ุงูุถَّุจِّ ََููุงَู ุฎَุงِูุฏٌ:
ุฃَุญْุฑَุงู
ٌ ุงูุถَّุจُّ َูุง ุฑَุณَُูู
ุงَِّููู؟ َูุงَู: «َูุง ََِْูููู
َูู
ْ َُْููู ุจِุฃَุฑْุถِ َْููู
ِู
َูุฃَุฌِุฏُِูู ุฃَุนَุงُُูู» َูุงَู ุฎَุงِูุฏٌ: َูุงุฌْุชَุฑَุฑْุชُُู
َูุฃََْููุชُُู َูุฑَุณُُูู ุงَِّููู ุตََّูู
ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ َْููุธُุฑُ
ุฅَِّูู
Bahwasanya Khalid pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menemui Maimunah (istri Nabi) dan Maimunah adalah bibiknya Kholid dan
juga bibiknya Ibnu Abbas.
Ketika itu, di rumah Maimunah ada daging dhob (kadal
gurun) yang dipanggang. Lalu Dhob itupun dihidangkan kepada Nabi shallalahu
‘alaihi wasallam.
Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menyentuh
Dhab.
Kholid bertanya, “Apakah dhob itu haram, ya Rasulullah?’.
Kita simak jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
َูุง ََِْูููู َูู
ْ َُْููู
ุจِุฃَุฑْุถِ َْููู
ِู َูุฃَุฌِุฏُِูู ุฃَุนَุงُُูู
“Tidak, namun dhob ini tidak ada di kampungku, sehingga
aku kurang berselera”.
Kata Kholid, “Akupun mengambilnya lalu menyantapnya, dan
Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam hanya memandangku” (HR. Bukhari 5391)
Mungkin bagi orang biasa, dia bisa menjawab dengan
sedikit komentar miring, “Saya jijik..” “Saya eneg..” “Hii… ngerii…” dst… Namun
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya.
Untuk bisa sama seperti beliau, memang tidak mungkin.
Namun setidaknya, kita bisa jadikan beliau sebagai standar akhlak yang terpuji.
Yang untuk bisa sampai pada tingkatan itu, kita butuh belajar.
Semoga Allah membimbing kita untuk bisa lebih mudah
mengikuti semua sunah beliau.
Allahu a’lam
Tulisan ini terinspirasi dari artikel Ustad Firanda
Andirja, M.A.
#Copas dari group WA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar