Rabu, 11 Mei 2016

Syukur dan Sabar



Imam Ibnu Al-Qayyim رحمه الله menyebutkan bahwa indikasi kebahagiaan seorang hamba ada tiga perkara. Yakni,  jika diberi nikmat maka ia bersyukur, jika diuji dengan musibah dia bersabar dan jika dia berdosa maka segera memohon ampun.

Beliau berkata, "ketiga perkara tersebut adalah indikasi kebahagiaan seorang hamba, tanda-tanda bahwa ia mendapat keberuntungan di dunia dan di akherat. Seorang hamba tidak akan stabil posisinya di antara tiga hal tersebut. Dan seorang hamba akan senantiasa turun naik derajatnya dalam tiga kondisi tersebut.

Nikmat-nikmat Allah Ta'ala melimpah ruah, sedangkan pengikatnya adalah syukur. Syukur dibangun di atas tiga rukun, yakni: mengakuinya di dalam bathin, menyebutnya secara dhahir dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan ridha Pemberinya. Jika seseorang melakukan hal itu, berarti dia telah bersyukur kendati terkadang ada kekurangan dalam mensyukurinya.

Terhadap ujian dari Allah yang menimpa seorang hamba, wajib baginya untuk bersabar dan merelakannya.

Adapun rukun sabar adalah menahan jiwa dari perasaan jengkel terhadap takdir yang menimpa dirinya, mencegah lisan mengeluh dan menjaga anggota badan dari berbuat maksiat seperti menampar pipi, merobek baju, menjambak rambut (karena histeris) dan semisalnya.

Maka ruang lingkup sabar berkisar pada tiga rukun tersebut, jika seorang hamba menegakkan sebagaimana mestinya, niscaya ujian akan berubah menjadi anugerah, bala' menjadi karunia dan benci menjadi rasa cinta.

jika Allah Ta'ala menguji hamba-Nya dengan bala',  tidaklah hal itu bertujuan untuk menyengsarakan hamba-Nya. Akan tetapi Dia menimpakan bala' adalah untuk menguji kesabaran dan kesungguhan ibadahnya. Karena bagi Allahlah ibadah seorang hamba tatkala berada dalam kesempitan, sebagaimana bagi-Nya pula ubudiyah hamba di kala lapang. Bagi-Nyalah ubudiyah hamba dalam perkara yang tidak ia suka, sebagaimana bagi-Nya pula ubudiyah hamba dalam perkara yang dia suka.

Kebanyakan manusia hanya mempersembahkan ubudiyah dalam hal-hal yang mereka sukai saja, namun bakhil untuk memberikan ubudiyah dalam hal yang tidak mereka suka. Oleh karena itulah kedudukan hamba itu bertingkat-tingkat di sisi Allah sesuai dengan tingkatan ubudiyahnya kepada-Nya. Wudhu dengan air dingin dalam suasana yang amat panas adalah ibadah, bermuka manis di hadapan istri cantik yang dicintai adalah ibadah, memberikan nafkah kepadanya, keluarganya dan dirinya sendiri adalah ibadah. Demikian halnya wudhu dengan air dingin di saat suasana yang sangat dingin adalah ibadah, meninggalkan maksiat di saat nafsu sangat menginginkannya bukan karena takut pada manusia adalah ibadah dan menafkahkan hartanya di kala sempit merupakan ibadah. Akan tetapi (kendati sama-sama ibadah) ada perbedaan tingkatan yang jauh antara dua macam ibadah di atas.

Maka barangsia mampu menghamba kepada Allah dalam dua keadaan tersebut, menegakkannya dikala benci dan cinta, maka dia akan memperoleh apa yang difirmankan Allah:

أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ

"Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya." (QS Az-Zumar :36)

Kecukupan yang sempurna didapat dengan ubudiyah yang sempurna, kekurangan disebabkan pula karena kurangnya sifat ubudiyah. Maka barangsiapa yang mendapatkan kebaikan hendaknya memuji Allah, dan barangsiapa yang mendapatkan selain itu, janganlah mencela melainkan kepada dirinya sendiri.
Moga bermanfaat 🙏😊
 
 
 

Tidak ada komentar: